Hallo
gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan
kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini
dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar
nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan
pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara
realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas
ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung.
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka
(PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan
pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan.
Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim
Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali
ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat..
Gunung mendelem terletak di
Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut
Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut
gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda
pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih
meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang
memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya.
Masih percaya juga gaes ?
Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar
pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara
melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan
kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan
berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan
yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang
belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke
Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem.
Belanja logistik @ Al** Mart
Sekitar pukul
20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita
diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal
dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat
orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak
terjadi pada rombongan kami.
Kediaman Kuncen Gn. Jimat
Bersama kuncen Gn. Jimat
Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki.
Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan
gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti
akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk
arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman
selama pendakian.
Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya
berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru
Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita
melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki
jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu.
Medannya masih lumayan landai.
Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon
bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa
petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya
suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas.
Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik
cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja
jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan,
karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena
tanah yang kami pijak longsor.
Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan
menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur
pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan,
kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh
otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali
ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan
bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal,
tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian
tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding.
Tim
sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek
anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada
rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan
tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar
saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan
lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya.
Kami memutuskan kembali ke titik
awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan
alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar
jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar.
Suasana sangat
sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan
kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk
meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga
lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu …….
Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan
penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang
tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes.
Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar
Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan
tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat
meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah
dikoreksi).
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga
berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan.
Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi.
Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan
hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat
untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person.
Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan.
Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung.,
menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang
malam membuat suasana makin nyaman.
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda
yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai
kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar
di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan
batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami
menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang
sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati
pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba.
Setelah puas
menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke
kediaman Kuncen Gunung Mendelem.
Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan
gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak
ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana
kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl
mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.
Waktunya packing dan berkemas untuk
kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek
untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Hanya butuh waktu sekitar 45 menit
untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem.
Setelah
bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon
pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata
selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug
Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung)
(17 Agustus
2015)
PITULASAN DI PETILASAN
GUNUNG JIMAT
17 Agustus 2015
Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun
2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan
momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki
gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya
puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi,
tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure
animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali
sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung.
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki
Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar
namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya
menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah
sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap
berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung
Mendelem alias Gunung Jimat..
Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan
ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai
disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung
yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di
bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini
benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki
kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya.
Masih percaya juga gaes ?
Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju
ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati
jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan
kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju
Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju
salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa
kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan
pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen)
Gunung Mendelem.
Belanja logistik @ Al** Mart
Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di
kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam
perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan
informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan
tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada
rombongan kami.
Kediaman Kuncen Gn. Jimat
Bersama kuncen Gn. Jimat
Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa
didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman
pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi
orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur
pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari
informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama
pendakian.
Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di
pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan
sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati
jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki
jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu.
Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu
besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita
mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali
tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara
malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas.
Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan
naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa
meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak
sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali
kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor.
Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam.
Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa
didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan
untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami
seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang
dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan
bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin
tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara
nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin
merinding.
Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah
berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi.
Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini.
Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung
menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang
kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang
dari jalur semestinya.
Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga,
hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur
yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri
diapit pepohonan dan semak belukar.
Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment
tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan
tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami
ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya
berbekal lampu senter dan air tremos.
“Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa
kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami
berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma
bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan
disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah.
Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata
ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta
sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah
dikoreksi).
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada
disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan.
Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek
lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem
(Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan
sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran
kecil cuman 1 person.
Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami
nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya
naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali,
hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman.
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya
dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat
bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes....
Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun
bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari
menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan
minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini
tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang
seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba.
Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera
turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem.
Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang
menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika
suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana
kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450
mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.
Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda
kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada
yang tertinggal.
Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman
Juru Kunci Gunung Mendelem.
Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci
kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada
destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau
dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung)
Story by : Alas Perdu
(03 September 2015)
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) :
http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN
GUNUNG JIMAT
17 Agustus 2015
Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun
2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan
momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki
gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya
puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi,
tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure
animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali
sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung.
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki
Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar
namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya
menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah
sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap
berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung
Mendelem alias Gunung Jimat..
Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan
ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai
disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung
yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di
bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini
benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki
kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya.
Masih percaya juga gaes ?
Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju
ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati
jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan
kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju
Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju
salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa
kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan
pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen)
Gunung Mendelem.
Belanja logistik @ Al** Mart
Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di
kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam
perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan
informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan
tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada
rombongan kami.
Kediaman Kuncen Gn. Jimat
Bersama kuncen Gn. Jimat
Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa
didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman
pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi
orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur
pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari
informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama
pendakian.
Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di
pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan
sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati
jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki
jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu.
Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu
besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita
mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali
tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara
malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas.
Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan
naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa
meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak
sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali
kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor.
Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam.
Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa
didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan
untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami
seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang
dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan
bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin
tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara
nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin
merinding.
Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah
berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi.
Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini.
Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung
menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang
kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang
dari jalur semestinya.
Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga,
hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur
yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri
diapit pepohonan dan semak belukar.
Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment
tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan
tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami
ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya
berbekal lampu senter dan air tremos.
“Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa
kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami
berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma
bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan
disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah.
Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata
ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta
sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah
dikoreksi).
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada
disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan.
Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek
lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem
(Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan
sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran
kecil cuman 1 person.
Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami
nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya
naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali,
hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman.
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya
dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat
bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes....
Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun
bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari
menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan
minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini
tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang
seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba.
Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera
turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem.
Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang
menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika
suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana
kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450
mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.
Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda
kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada
yang tertinggal.
Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman
Juru Kunci Gunung Mendelem.
Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci
kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada
destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau
dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung)
Story by : Alas Perdu
(03 September 2015)
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) :
http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN
GUNUNG JIMAT
17 Agustus 2015
Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun
2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan
momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki
gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya
puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi,
tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure
animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali
sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung.
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki
Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar
namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya
menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah
sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap
berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung
Mendelem alias Gunung Jimat..
Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan
ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai
disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung
yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di
bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini
benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki
kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya.
Masih percaya juga gaes ?
Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju
ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati
jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan
kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju
Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju
salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa
kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan
pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen)
Gunung Mendelem.
Belanja logistik @ Al** Mart
Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di
kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam
perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan
informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan
tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada
rombongan kami.
Kediaman Kuncen Gn. Jimat
Bersama kuncen Gn. Jimat
Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa
didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman
pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi
orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur
pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari
informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama
pendakian.
Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di
pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan
sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati
jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki
jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu.
Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu
besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita
mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali
tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara
malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas.
Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan
naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa
meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak
sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali
kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor.
Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam.
Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa
didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan
untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami
seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang
dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan
bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin
tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara
nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin
merinding.
Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah
berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi.
Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini.
Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung
menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang
kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang
dari jalur semestinya.
Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga,
hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur
yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri
diapit pepohonan dan semak belukar.
Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment
tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan
tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami
ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya
berbekal lampu senter dan air tremos.
“Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa
kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami
berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma
bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan
disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah.
Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata
ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta
sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah
dikoreksi).
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada
disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan.
Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek
lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem
(Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan
sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran
kecil cuman 1 person.
Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami
nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya
naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali,
hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman.
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya
dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat
bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes....
Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun
bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari
menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan
minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini
tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang
seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba.
Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera
turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem.
Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang
menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika
suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana
kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450
mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.
Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda
kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada
yang tertinggal.
Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman
Juru Kunci Gunung Mendelem.
Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci
kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada
destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau
dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung)
Story by : Alas Perdu
(03 September 2015)
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) :
http://ow.ly/KNICZ