Wednesday, December 16, 2015

Pendakian Gunung Slamet Via Bambangan


Tak terasa kini kita memasuki musim penghujan. Mendaki gunung dimusim penghujan mungkin mempunyai tantangan tersendiri. Bagi mereka kaum “pendaki” musim penghujan bukanlah suatu alasan untuk tidak mendaki gunung. Asalkan dengan memperhatinan safety prosedur dan persiapan pendakian yang matang, kegiatan mendaki gunung di musim hujan bisa dilakukan.

Ketika tetesan air hujan mulai menghiasi muka bumi, kami dari Komunitas Pendaki Laka-Laka yang terdiri dari tujun personil (Syamsul Arifin, Agus Eong, Arif, Alas Perdu, Zulfikar, Afan, Via) melaksanakan pendakian ke Puncak Gunung Slamet. Jalur pendakian yang kami pilih kali ini yaitu melalui jalur Bambangan di Kabupaten Purbalingga. Jalur Bambangan merupakan jalur terpopuler untuk pendakian, karena jalur Bambangan merupakan jalur terpendek. Sehingga jalur ini sering dipilih para pendaki yang mendaki ke puncak gunung Slamet.

Perjalanan kami mulai dari Basecamp (BC) Pendaki Laka-Laka di Jalan Kaligung 29 Tegal. Malam harinya sebelum tim diberangkatkan, seperti biasa kami melalukan briefing persiapan dan kesiapan tim. Tim bermalam di BC Pendaki Laka-Laka untuk mempermudah pemberangkatan diesok harinya. Peralatan dan perlengkapan dicek ulang untuk memastikan semua bisa berjalan dengan lancar ketika digunakan..

Pagi harinya 28 November 2015 kami memulai perjalanan sekitar pukul 06.30 wib dengan menggunakan kendaraan roda dua.. Dari kota Tegal perjalanan dilanjutkan  ke Slawi menuju Jatinegara melewati jalanan yang ternyata telah selesai diperbaiki. Jalanan di kawasan perbukitan Jatinegara begitu mulus sehingga mudah untuk dilewati kendaraan bermotor. 
Perjalanan diteruskan menuju Randudongkal, melewati Belik dan dilanjutkan ke arah Purbalingga. Kurang lebih sekitar 1 km dari gerbang selamat datang di Kabupaten Purbalingga, kita akan bertemu pertigaan Serayu menuju area wisata Goa Lawa. Pertigaan ini ditandai dengan patung kelelawar besar sehingga bisa digunakan sepagai tanda dan memudahkan kita untuk menuju lokasi basecamp Bambangan. Perjalanan diteruskan melewati jalan aspal perkampung dan melewati hutan pinus. Kurang lebih butuh waktu 20 menit dari pertigaan Serayu akhirnya kita sampai di Basecamp Bambangan.

Kisaran pukul 10.00 pagi kita sampai di Basecamp Bambangan. Kami sempatkan untuk istirahat setelah melakukan perjalanan jauh.


Simaksi pendakian gunung Slamet sebesar Rp. 5.000 / orang. Boleh dibilang masih cukup murah untuk seukuran gunung Slamet. Banyak para pendaki termasuk kami yang penasaran dengan panorama kawah baru gunung Slamet. Inilah yang membuat mengapa pamor gunung Slamet di penghujung tahun 2015 naik setelah jalur pendakian dibuka di bulan September tahun 2015 kemarin.

Selesai isoma kami mulai melakukan pendakian sekitar pukul 12.30 wib. Baru saja beberapa langkah kami melewati gapura pendakian, hujan deras mengguyur kami. Tim dan beberapa rombongan lain terpaksa meneduh di salah satu rumah penduduk. Setengah jam kemudian hujan mulai mereda dan kami melanjutkan perjalanan. 

Seperti biasanya saya selalu setia dengan selembar kertas dan pena yang menemani sepanjang perjalanan ini. Sebuah catatan perjalanan mungkin dianggap remeh untuk beberapa pendaki. Tetapi bagi saya sebuah catatan perjalanan penting artinya. Ini bisa menjadi bagian cerita yang bisa kami bagi untuk teman-teman. Catatan perjalanan bahkan panduan bagi pendaki lain ketika melakukan pendakian di jalur yang sama.


Basecamp - Pos I
Pondok Gembirung
Dari basecamp menuju Pos 1 kita akan melewati jalan aspal, pemukiman penduduk, perkebunan warga serta lapangan. Jalur yang dilewati masih banyak ditemui pohon pinus.




Kurang lebih butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Pos 1. Di pos satu terdapat bangunan permanen. Di Pos ini para pedagang biasa menyediakan makanan dan minuman hangat untuk para pendaki.

Pos 1 – Pos II
Pondok Walang
Salu rmenuju Pos 2 akan lebih menanjak dari sebelumnya. Vegetasi hutan mulai rapat dan jarang ditemui area lapang.


Kurang lebih butuh waktu 1 jam untuk sampai di Pos 2. Pos 2 memiliki dataran yang cukup luas.


Pos II – Pos III
Pondok Cemara
Menuju Pos 3 medan menanjak tetapi tidak seberat ketika kita Pos 1 menuju Pos 2. Kurang lebih sekitar 20 menit dari Pos 2 terdapat pertemuan jalur pendakian dari pemalang. Perhatikan jalur percabangan ini terutama ketika kita turun. Jalur menuju pos 3 melewati hutan yang cukup lebat dan semak-semak.
 Kurang lebih sekitar 1 jam kita sudah sampai di Pos III. Di pos 3 area kemah tidak seluas di Pos 2.


Pos III – Pos IV
Samaranthu
Salur menuju pos IV medan menanjak dan masih didominasi hutan lebat. Di Pos 4 konon dikatakan kawasan angker karena itu area ini biasa disebut Pos Samaranthu (Hantu yang tidak terlihat). Butuh waktu 1 jam untuk sampai di Pos 4. 


Pos IV – Pos V
Samyah Rangkah
Sekitar pukul 21.00 wib kami tiba di Pos 4. Kami langsung melanjutkan perjalanan mencari shelter yang cocok untuk mendirikan 2 buah tenda kami. Sekitar 10 menit kami menemukan shelter yang cukup luas dan memutuskan untuk makan malam dan bermalam.


Setelah istirahat cukup perjalanan dilanjutkan sekitar pukul 04.00 wib. Cuaca tampak cerah. Jalur menuju pos 5 kawasan didominasi oleh hutan lamtoro.
 Kurang lebih butuh waktu ½ jam untuk sampai di Pos 5. Di pos 5 terdapat sumber mata air. Arah menuju mata air dari pos 5 ambil jalan setapak turun, kurang lebih 10 menit. Sayangnya di musim hujan airnya tampak keruh.. Hati-hatila di Pos 5, karena pos 5 banyak babi hutan yang sering berkeliaran,



Pos V – Pos VI
Samyang Katebonan
Jalur menuju pos VI didominasi hutan lamtoro, vegetasi mulai berkurang. Kurang lebih butuh waktu ½ jam untuk menuju pos 6.


Pos VI – Pos VII
Samyang Kendit
Jalu rmenuju pos 7 banyak dijumpai pohon-pohon pendek, lamtoro. Trek mulai terbuka dan pemandangan yang cukup indah bisa dilihat sepanjang perjalanan menuju pos 7.

Sekitar ½ jam kita sudah sampai di Pos 7. Pos 7 merupakan pos favorit untuk mendirikan tenda. Selain tedapat bangunan permanen, disini areapun cukup luas dan dekat dengan kawasan puncak gunung Slamet. Kebetulan ketika kami melakukan pendakian, di Pos 7 terdapat pedangan makanan dan minuman hangat.


Pos VII – Pos VIII
Samyang Jampang
Menuju pos VIII kita akan melewati jalur menyerupai lorong.

Medan yang dilewati bebatuan dan terdapat pasir. Pepohonan masih didominasi oleh pohon lamtoro.. Kurang lebih butuh waktu ½ jam untuk menuju pos 8



Pos VIII – Pos IX
Pelawangan
Ini merupakan batas vegetasi. Jalur menuju pelawangan didominasi oleh bebatuan dan serta krikil.

Pemandangan sudah terbuka. Sunrise dapat terlihat sangat indah dari Pelawangan ini. Di pelawangan tedapat papan besar berlubang dan berwana orange.


 Papan ini digunakan sebagai penunjuk arah ketika pendaki turun dari puncak. Papan ini memudahkan pendaki agar tidak tersesat atau keluar dari jalur yang semestinya. Sekitar ½ jam kita akan sampai di pos 9.Pelawangan

Pos IX – Puncak
Jalur menuju puncak berupa krikil, bebatuan lepas. Bebatuan dan krikil ini rawan longsor. Untuk standar safety, sebaiknya gunakan sepatu trekking, sehingga memudahkan kita ketika bertemu trek seperti ini.


Ketika kami menuju puncak suasana yang sebelumnya cerah, berubah berkabut. Pandangan mata hanya sekitar 5 meter karena tertutup kabut. Sinar matahari tampak malu menampakan jati dirinya.


Angin mulai berhembus sangat kencang. Ketika kita berdiam terlalu lama hawa dingin menusuk hingga kedalam. Area ini memang rawan badai karena berada di tempat terbuka.


Butuh waktu 1,5 jam untuk mencapai puncak gunung Slamet. Kami bergegas menuju puncak.

Dan sekitar pukul 07.00 wib kami bertujuh tiba di titik tertinggi di Jawa Tengah “Puncak Gunung Slamet”. Kebahagiaan menyertai tim kami, meski kondisi di puncak badai. Kabut menutupi area sekeliling kami. Pemandangan tidak tampak sama sekali kerena jarak pandang yang terlalu dekat karena tertutup kabut.


Tim memutuskan untuk beristirahat dan mengabadikan moment kebersamaan di puncak gunung Slamet. Kawah baru gunung yang seharusnya tampak indah dan berwarna, kai ini sama sekali tidak terlihat. Berjalan di puncak terasa sangat berat karena badai begitu kencang. Bendera komunitas kamipun sulit dibentangkan karena angin yang sangat kencang.



Karena kondisi badai, sekitar pukul 08.00 wib kami meutuskan untuk turun dan tidak berlama-lama di puncak. Hawa dingin dan angina kencang sangat menusuk badan kami. Terlalu lama di puncan bisa mnengakibatkan stamina dan kondisi tubuh akan menurun



Sebuah perjalanan yang istimewa bersama rekan satu komunitas Pendaki Laka-Laka. Kebersamaan kami tampak indah, berkesan dan nyata ketika kita berbagi. Sebuah persiapan, pengetahuan dan pengalamanlah yang membuat kita untuk tetap hidup. Hidup sebagai “mountaineer” yang mungkin akan terus mengalir di darah kami. Jangan pernah lelah untuk terus menapaki indahnya bumi ini….Indonesia

Story by : Alas Perdu

Tuesday, September 15, 2015

Rute Pendakian Gunung Jimat


Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. 
 
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. 

Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? 

Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem.

 Belanja logistik @ Al** Mart 

Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami.

 Kediaman Kuncen Gn. Jimat 

Bersama kuncen Gn. Jimat 

Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. 

Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. 



Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. 


Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. 

Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. 

Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. 

Kami memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. 

Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). 

Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. 

Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. 
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. 






Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. 

Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.





Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. 



Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem.



Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) 

Story by : Alas Perdu 
(17 Agustus 2015)

PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ