Tuesday, September 15, 2015

Rute Pendakian Gunung Jimat


Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. 
 
Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. 

Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? 

Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem.

 Belanja logistik @ Al** Mart 

Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami.

 Kediaman Kuncen Gn. Jimat 

Bersama kuncen Gn. Jimat 

Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. 

Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. 



Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. 


Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. 

Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. 

Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. 

Kami memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. 

Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). 

Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. 

Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. 
Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. 






Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. 

Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya.





Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. 



Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem.



Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) 

Story by : Alas Perdu 
(17 Agustus 2015)

PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
PITULASAN DI PETILASAN GUNUNG JIMAT 17 Agustus 2015 Hallo gaes, ga kerasa bertemu HUT RI lagi, kali ini yang ke-70 tahun 2015. Pitulasan kemana masbro? Kaum petualang biasanya memanfaatkan momen tujuh belasan ini dengan upacara bendera di puncak gunung. Mendaki gunung yang sudah familiar nama mungkin terlalu mainstream dan pastinya puncak bakalan dipenuhi dengan pendaki. Bukan bermaksud menghakimi, tapi semenjak film 5cm apalagi acara realiti show my trip my adventure animo masyarakat akan kegiatan di alam bebas ini luar biasa sekali sambutannya termasuk juga dengan kegiatan mendaki gunung. Menjelang tanggal 17 Agustus, ada rekan satu komunitas di Pendaki Laka-Laka (PL) yang mengajak trekking ke gunung yang belum familiar namanya di kalangan pendaki. Penasaran juga, tanpa pikir panjang, saya menerima ajakan rekan. Rencana awal kami hanya berempat, setelah sounding kesana-kemari akhirnya tim Pendaki Laka-laka kali ini genap berjumlah sepuluh orang. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Mendelem alias Gunung Jimat.. Gunung mendelem terletak di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang dengan ketinggian 1.450 Mdpl. Menurut Sesepuh atau kuncen yang kami jumpai disana, gunung Mendelem biasa juga disebut gunung Jimat karena gunung yang dikeramatkan ini konon memiliki benda-benda pusaka yang terdapat di bukitnya. Sebagaimana kita tahu bahwa budaya kita masih meyakini benda-benda pusaka atau jimat. Jimat ini menurut sebagian orang memiliki kekuatan, kewibawaan dan keagungan bagi siapa saja yang memilikinya. Masih percaya juga gaes ? Tim kami memulai perjalanan dari Kota Tegal sekitar pukul 6 sore menuju ke arah Slawi. Dari kota Slawi dilanjutkan ke Jatinegara melewati jalanan yang masih dalam perbaikan, sehingga debu terasa berterbangan kemana-mana dan perih dimata. Perjalanan kami lanjutkan menuju Randudongkal dan berakhir di pasar Belik. Di lokasi ini kami menuju salah satu saudara rekan yang ikut dalam pendakian kali ini . Tak lupa kami melengkapi logistik yang belum terbawa. Setelah melakukan pembicaraan, kita dipandu untuk sowan dulu ke Juru Kunci (Kuncen) Gunung Mendelem. Belanja logistik @ Al** Mart Sekitar pukul 20.00 wib kita sampai juga di kediaman Sang Juru Kunci. Di kediaman beliau kita diwanti-wanti untuk menjaga sikap selama dalam perjalanan, karena gunung ini terkenal dengan kramatnya. Berdasarkan informasi dari beliau, pernah ada kasus empat orang yang naik dan tersesat sehingga kami diwanti-wanti agar hal serupa tidak terjadi pada rombongan kami. Kediaman Kuncen Gn. Jimat Bersama kuncen Gn. Jimat Gunung Mendelem. bukan seperti layaknya gunung-gunung yang sudah biasa didaki. Disana belum ada system simaksi, basecamp, peta pedoman pendakian atau bahkan gapura selamat datang di pintu masuk gunung. Bagi orang yang baru datang pasti akan bingung karena masuk jalur pendakiannya pun tidak jelas dan tanpa penunjuk arah. Hanya dari informasi penduduk sekitarlah yang menjadi panduan dan pedoman selama pendakian. Tak lupa sebelum tim berangkat kita sempatkan sholat Isya berjamaah di pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Juru Kunci. Dan sekitar pukul 20.30 wib kita memulai pendakian. Awalnya kita melewati jalan aspal perkampungan, rumah-rumah penduduk dan kemudian memasuki jalur yang kanan kirinya dipenuhi pohon bambu. Medannya masih lumayan landai. Begitu bertemu dengan pertigaan batu besar yang kanan kirinya terdapat pohon bambu yang lumayan besar kita mulai dibuat bingung. Kondisi gelap, tanpa petunjuk arah dan sama sekali tidak ada pendaki lain yang kita jumpai. Hanya suara soundsystem acara malam tirakatan yang sayup-sayup terdengan dari atas. Di pertigaan ini jalur kiri begitu landai, sedangkan jalur yang ke kanan naik cukup terjal. Kami memutuskan mengambil arah kanan. Baru beberapa meter saja jalur sudah luar mulai menanjak. Medan tanah yang kami injak sangat riskan, karena kontur tanahnya yang kering dan rapuh. Sesekali kami terpeleset karena tanah yang kami pijak longsor. Tim pun melanjutkan perjalanan, kali ini medan menurun dengan curam. Kami mulai ragu apakah jalurnya benar-benar jalur pendakian yang biasa didaki. Setelah berdiskusi dan mengecek jalur di depan, kami memutuskan untuk meneruskan jalur tadi. Dan setelah berjalan cukup jauh otak kami seperti buntu karena disana sama sekali tidak ada jalur, kecuali ilalang dan semak belukar. Jalur makin terjal, sesekali kami harus berpegangan bebatuan. Tanpa disadari kami mulai tersesat makin jauh. Kabut makin tebal, tetesannya embun makin terasa ketika angin makin kencang. Suara nyanyian tembang langgam Jawa dari bawah makin membuat suasana makin merinding. Tim sepertinya berada di punggungan bukit yang berbeda. Setelah berkumpul dan cek anggota tim satu persatu, kita kembali berdiskusi. Saya baru tersadar kalau ada rekan yang pernah trekking ge gunung iini. Untung ada sinyal handphone dan tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi untuk kepastian jalurnya. Benar saja dari informasi yang kami dapatkan, kami benar-benar salah jalur dan lumayan jauh menyimpang dari jalur semestinya. Tim memutuskan kembali ke titik awal kita tersesat. Wow. Jauh juga, hampir satu jam kita tersesat. Dan alhamdulillah kita menemukan jalur yang semestinya dilalui pendaki. Benar-benar jalan setapak, kanan kiri diapit pepohonan dan semak belukar. Suasana sangat sepi tidak seperti layaknya pendakian di moment tujuhbelasan. Di tengah jalan kami bertemu area yang sudah disiapkan tempat perapian. Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kami ternyata tidak sendiri diatas sudah ada dua warga lokal dengan hanya berbekal lampu senter dan air tremos. “Buntu mas. Buntu ……. Bukan puncaknya”, salah satu dari mereka menyapa kami. Saya bersama satu rekan penasaran, “Kok tidak ada jalan ya?. Kami berdua menuju jalur yang kedua orang tadi lewati. Deg..deg..deg.. aroma bunga melati dan dupa menyengat gaes. Ternyata ada sebuah petilasan disana. Konon diyakini sebagai petilasan Damar Wulan dan Raden Patah. Sesajen, bunga serta dupa menyan meghiasi petilasan tersebut. Ternyata ini petilasanlah yang biasa orang-orang tuju untuk tirakat meminta sesuatu atau sekedar mencari jimat (mungkin sih, maaf kalau salah dikoreksi). Tanpa pikir panjang kami berdua langsung putar balik. Ngeri juga berada disana. Kami kembali menuju lokasi perapian yang ternyata ada jalan. Jalur kekanan nampak tumpukan bebatuan. Salah satu rekan mencoba cek lokasi. Wooowwww ternyata kita sudah berada di puncak Gunung Mendelem (Jimat). Dan hanya ini satu-satunya camp area di lokasi puncak. Lumayan sempit hanya muat untuk 3 tenda itupun salah satu tenda kami berukuran kecil cuman 1 person. Tenda kami pasang, logistik mulai dikeluarkan dan api unggun kami nyalakan. Benar-benar nikmat gaes. Luar biasa sepinya. Ini baru namanya naik gunung., menyatu dengan alam. Tanpa ada suara bising sama sekali, hanya suara binatang malam membuat suasana makin nyaman. Hawa di puncak tidak begitu dingin, tenda yang saya tempati pintunya dibiarkan terbuka. Sleeping bag yang biasa dipakai kali ini hanya buat bantalan saja. Luar biasa nikmatnya gaes.... Semburat sinar di awan mulai tampak, pertanda datangnya pagi. Kamipun bergegas menuju tumpukan batu di Puncak Mendelem (Jimat). Sembari menunggu sunrise datang tak lupa kami menyalakan kompor dan menyiapkan minuman serta makanan hangat diatas. Sayang sekali sunrise kali ini tertutup kabut sehingga kami tidak bisa menikmati pemandangan yang seharusnya luar biasa ketika sunrise tiba. Setelah puas menikmati dan mengabadikan moment di puncak, kami segera turun kembali ke kediaman Kuncen Gunung Mendelem. Gunung Mendelem tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Keindahan akan tampak sekali dari puncak ketika suasana dan cuaca mendukung. Ini bukan soal prestise tapi bagaimana kenikmatan yang didapat dari sebuah pendakian. Ketinggiannya hanya 1.450 mdpl mas brow, tapi luar biasa sekali kesannya. Waktunya packing dan berkemas untuk kembali turun. Satu persatu tenda kami lipat, tidak lupa peralatan kami cek untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk kembali turun menuju kediaman Juru Kunci Gunung Mendelem. Setelah bersitirahat sejenak sembari ngobrol santai dengan Juru Kunci kami memohon pamit untuk pulang. Pulang….? Ups, ternyata masih ada destinasi wisata selanjutnya di Kecamatan Belik. Wah sayang juga kalau dilewatkan gaes. Curug Bengkawah I’m comiiinggggg (bersambung) Story by : Alas Perdu (03 September 2015)

Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ